Lewat satelit yang mengorbit setinggi ribuan kilometer dari
permukaan bumi, wujud bumi dari kejauhan dapat dicitrakan dalam sebuah gambar
digital. Citra satelit ini berguna untuk memantau kondisi suatu wilayah
pasca-bencana. Salah satunya sebaran debu vulkanik yang dihasilkan erupsi Gunung
Kelud, Kediri, Jatim, beberapa waktu lalu.
Namun sayang, untuk bisa mendapatkan citra satelit ini
Indonesia masih harus bergantung pada lembaga antariksa negara lain. Padahal
tak semua data itu didapatkan dengan gratis.
"Jadi satelite citra itu sebenarnya itu punya asing ya.
Kita membayar semacam biaya langganan untuk mendapatkan data tersebut. Yang
Land-SAT kita kerjasama dengan Amerika, SPOT kita dengan Perancis," papar
Kepala Bidang Bank Data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Rubini
Jusuf saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu (23/2/2014).
"Adapula Modis itu punya asing juga, tapi kita bisa
terima datanya gratis."
Dengan fungsi citra itu, Lapan dapat menganalisa sebaran
debu vulkanik letusan Gunung Kelud dari Jawa Timur ke wilayah Jawa Barat. Hasil
analisa itu kemudian dilanjutkan kepada badan yang menangani penanggulangan
bencana. Hal ini dipaparkan Kabid Produksi Informasi Pusat Pemanfaatan Data
LAPAN Winanto.
"Letusan Gunung Kelud adalah salah satu contoh, kita merekam
sebelum dan sesudah Gunung Kelud meletus dan juga melalui MTSAT-2 dan pendalam
tim Atmosfer Lapan kita menginformasikan sebaran debu vulkanik yang dibawa oleh
angin ke arah barat," tutur Winanto.
Satelit Produksi Dalam
Negeri
Namun, Rubini melanjutkan, Lapan saat ini telah berhasil
membuat satelit yang berguna untuk fungsi mitigasi bencana. Namanya, Satelite
Lapan A2. Sayangnya, Lapan A2 yang direncanakan meluncur sejak 2012 dari
Sriharikota, India, hingga kini belum juga diterbangkan. Ini lantaran harus
menunggu India menyelesaikan pembangunan satelite Astrosat.
"Kalau sudah satelit sendiri mungkin lebih enak ya,
Mas. Masalah kontinuitas datanya, termasuk resolusinya sat-sualnya. Karena kita
kan menginginkan data itu tersedia kemudian bisa mendapatkan data lebih detail
dan sebagainya," harap Rubini.
Untuk observasi, saat ini Lapan bekerjasama dengan beberapa
negara. Untuk penggunaan seperti Citra Satelite resolusi rendah, RI menggandeng
Land-SAT milik Amerika Serikat yang memiliki cakupan luas 185x185 km dengan
resolusi spasial 30 meter. Untuk resolusi sedang, kita bekerjasama dengan
Perancis yang memiliki Satelite SPOT 5 dan 6.
"Kalau satelit SPOT itu yang kita terima ada SPOT 5 dan
SPOT 6. Untuk SPOT 5 itu luasannya 65x65 km, resolusi lebih detail dia (SPOT 6)
bisa merekam dari resolusi spasial 2,5 meter. Kalau SPOT 6 itu dia bisa receive
shift kalau dia sudah konspelasi dengan generasi berikutnya, SPOT 7 dia bisa
receive shift tiap hari karena dia bisa by order sesuai pesanan," terang
Rubini.
Winanto melanjutkan pemaparan Rubini. Sedangkan untuk
resolusi tinggi, menurut Winanto, penggunaannya untuk kebutuhan komersial
seperti Satelit Quickbirds, Worldview-2 dan IKONOS milik Amerika Serikat. Untuk
analisis bencana alam satelit IKONOS paling sering digunakan.
"IKONOS resolusi spasialnya 1 meter, Worldview itu 60
cm, Quickbirds 40 cm, itu satelit-satelit negara maju," tutup Winanto.
Selain digunakan untuk observasi bencana, pemanfaatan citra
satelit sudah luas jangkauannya, seperti bidang sumber daya alam, lingkungan,
kependudukan, transportasi, hingga ke bidang pertahanan. Satelit Lapan A2 dan
pengembangan baru LAPAN, yakni Lapan A3 yang notebene karya anak bangsa bisa
mampu membantu komunikasi dan penyebarluasan informasi seputar bencana dan
bidang lainnya.







0 komentar:
Posting Komentar